Beberapa
hari lalu aku mendapat materi mengenai kisah Imam Syafi’i. Lebih tepatnya
tentang kecintaan Imam Syafi’i terhadap ilmu. Aku semakin takjub pada beliau.
Pada saat itu Imam Syafi’i hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini tidak
menyurutkan semangatnya dalam menuntut ilmu. Saat itu ia tidak mampu membeli
carikan kertas guna mengabadikan suatu ilmu. Ia mencari alternatif lain yaitu
dengan menuliskan ilmu - ilmu yang ia dapat dalam tulang, pecahan tebikar, dan
pelepah kurma.
MasyaAllah!
Siapa yang mengira, seseorang yang terbatas seperti beliau dikemudian hari
menjadi sosok yang begitu besar. Seseorang yang masih dikenal hingga kini,
seakan zaman tak memudarkan sosoknya. Manisnya ilmu beliau masih bisa kita
rasakan.
Ia
mengabadikan ilmunya dalam tiap goresan pena. Disebutkan dalam kutipan beliau, “Ilmu bak buruan dan catatan adalah
pengikatnya.” Ia adalah sosok yang ahli di bidang sastra, agama, Bahasa
Arab termasuk kedokteran. Mengetahui semua ini, tidak heran jika sebelum aku
tahu kisah beliau, aku sempat membaca suatu kutipan yang mendeskripsikan akan
pentingnya ilmu. Ini kutipannya :
“Bila
kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus menahan perihnya kebodohan.” ~
Imam Syafi’i.
Baik,
seperti judul diatas. Kita juga akan membahas tentang hijrah. Kenapa aku
menyandingkan kata hijrah dengan beliau ? Karena bahasanku tentang hijrah
sangat berkaitan dengan pemikiran beliau tentang hijrah. Hijrah berasal dari
bahasa Arab yang artinya pindah. Dalam bahasa Indonesia sendiri, pindah itu
tentu saja mengalami perubahan. Jadi dalam hal ini, apapun yang berubah baik
sifat, barang maupun tempat, artinya itu adalah berhijrah. Tentu saja berhijrah
ini dalam konteks yang positif yakni berubah menjadi lebih baik.
Dalam
salah satu kutipannya, Imam Syafi’i pernah meyatakan bahwa salah satu ciri
orang berilmu dan beradab adalah orang yang meninggalkan kampung halamannya dan
pergi untuk memperoleh hal baru yang
memang hanya akan ia dapatkan bila ia berhirah yakni : Teman yang lebih banyak,
Ilmu yang lebih baik dan Rejeki yang lebih banyak.
Bahkan
di suatu sya’ir, Imam Syafi’i mengibaratkan berhijrah dengan perumpamaan yang
indah dan logis. Singa yang kuat tidak
akan mendapat mangsa jika tidak meninggalkan sarangnya. Setajam apapun anak
panah itu tak berguna jika tak dibidikkan. Bijih emas yang tetap didalam tanah
itu tiada harganya.Itulah sepenggal sya’ir tersebut.
Imam
Syafi’i adalah tokoh yang juga ahli dalam bidang kedokteran. Kecintaan beliau
terhadap ilmu kedokteran terlontar melalui petuahnya yang berbunyi, “Aku tidak mengetahui suatu ilmu sesudah
halal dan haram yang lebih utama daripada ilmu kedokteran.” Tidak heran sih beliau berpikir demikian. Faktanya penyakit bisa membatasi
aktifitas seseorang. Waktu yang apabila ia sehat bisa ia gunakan untuk
berkarya, malah ia habiskan di tempat tidur. Ikhtiar medis tentu saja diperlukan dan untuk menunjang itu,
mempelajari ilmu kedokteran adalah hal wajib yang perlu dilakukan.
Inilah
yang ingin kubahas mengenai Imam Syafi’i. Aku harap bahasanku ini berefek tidak
hanya pada diriku, tapi menginspirasi bagi kita semua yang membaca ini maupun
yang memang mengenal beliau karena keharuman sosoknya. Semoga bermanfaat dan
sampai jumpa~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar